Jumat, 05 Agustus 2016

VAKSIN PALSU MERAJALELA DI KALANGAN BALITA

VAKSIN PALSU MERAJALELA DI KALANGAN BALITA


Bekasi ( 05/08 ) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membutuhkan akses untuk mengawasi peredaran vaksin palsu di Indonesia, karena selama ini peran mengawasi hanya sebatas kepada badan farmasi saja.
"Selama ini pengawasan kita hanya di hulu saja, jika kita diberi akses lebih dan mudah-mudahan sebentar lagi terwujud, kita bisa mengawasi semua badan kesehatan mengenai vaksin palsu," kata Direktur Pengawasan Distribusi Produk dan Terapetik BPOM Arustiyono saat acara jumpa media di Jakarta.
Menurut dia pemberian akses itu dapat berupa BPOM dilibatkan dalam pembinaan dan pengawasan sarana kesehatan bersama Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan di daerah.
Dari yang dia temukan di lapangan banyak pemerintah daerah yang tidak mengetahui bahwa peredaran obat dan izin pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab dari masing-masing daerah, dan regulasinya telah dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Rumah Sakit Permata Bekasi menyayangkan langkah Kementerian Kesehatan merilis daftar 14 rumah sakit yang disebut menggunakan vaksin palsu. Akibat informasi itu, rumah sakit Permata mengaku alami penurunan kunjungan jumlah pasien.
Manajer pelayanan medis RS Permata Bekasi, dr Siti Yunita mengakui, pihaknya sempat menggunakan vaksin palsu yang dijual Cv Azka Medika. Itu terungkap setelah mereka dipanggil Kementerian Kesehatan dan Bareskrim Polri, beberapa waktu lalu.
Ada tiga distributor yang biasa memasok vaksin ke RS Permata. Yakni PT Anugerah Prima Lestari, PT Sagi Capri, dan CZ Azka Medika. Dari hasil penyelidikan polisi, CV Azka Medika diketahui bukan sebagai distributor resmi.
Namun, dr Siti berdalih tidak sengaja menggunakan vaksin palsu yang dijual oleh CV Azka Medika. Sebab, vaksin itu dikemas sama dengan vaksin yang dijual distributor lainnya. Bahkan, harga yang ditawarkan jauh lebih murah.
"Karena saat itu kita tidak tahu, bahwa barang itu palsu. Dari bentuknya sama persis, harganya murah dan terdapat nomor registrasi BPOM," ucap dr Siti di kantornya, Jalan Legenda Raya, Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (16/7/2016).
Ia menambahkan, selama rumah sakit berdiri tak pernah sekalipun Kemenkes merekomendasikan informasi terkait distributor vaksin yang resmi maupun tak resmi.
"Terus terang selalu beredar bahwa kami mengambil dari distributor yang tidak resmi, padahal kami tidak pernah menerima informasi dari Kemenkes distributor mana saja yang resmi," ucap dr Siti dengan nada tinggi.
Ia juga mengakui telah membeli vaksin palsu dari CV Azka Medika sejak Oktober 2015 hingga Juni 2016. Namun dari pembelian vaksin itu, hanya 1 vaksin yang digunakan terbukti palsu.
"Dari 8 vaksin palsu yang diumumkan pihak Kemenkes, kita hanya pengadaan 1 vaksin saja, yaitu jenis Pediacel. Itupun sampai bulan Oktober hingga Mei 2015," jelas dr Siti.



Jumlah Pasien Menurun
Konsultan Rumah Sakit Permata Ahmad, mengakui dampak serius dari pengumuman 14 rumah sakit terkait vaksin palsu tersebut. Kunjungan pasien yang akan berobat mengalami penurunan tajam. Suasana pun menjadi sepi.
Dia bahkan berjanji akan menempuh jalur hukum terhadap Kemenkes jika rumah sakit Permata mengalami kerugian besar.
"Memang dampak dari manajemen mengkhawatirkan, karena penurunan pasien setelah rilis Kemenkes di DPR itu sehingga membuat pasien kami cukup berkurang. Kami akan pelajari langkah hukum jika rumah sakit ini citranya semakin dibuat jelek," tegas Ahmad.
Pantauan jumlah orang yang datang ke rumah sakit tersebut untuk mendapatkan informasi terkait vaksin palsu kian meningkat. Mereka yang didominasi ibu-ibu berserta anaknya itu mempertanyakan apakah vaksin yang diberikan pihak rumah sakit terindikasi palsu atau tidak.
"Khawatir sangat mas. Ini kan rumah sakit ibu-anak, kenapa bisa kecolongan begini. Saya kemarin vaksin sampai satu juta mas. Saya minta kejelasan," kata Lina yang tinggal di Perumahan Grend Wisata, Tambun Selatan.
Ia pun mengaku kian kesal, melihat rumah sakit yang seolah melempar kesalahan dan tidak mau mengakui jika vaksin yang selama ini mereka pakai hanya untuk meraup keuntungan semata.
"Kok bisa, pihak rumah sakit tidak tahu vaksin yang dipakai dari distributornya itu ilegal atau tidak. Alasannya, karena tak ada pemberitahuan dari Kemenkes. Kita ini bukan orang bodoh mas. Yang namanya pemerintah, pasti menginformasikan untuk selalu memakai barang yang asli. Distributor asli, obat asli. Jangan gara-gara mau untung aja dong," kesal Lina di tengah kerumunan pasien lainnya.
"Untuk itu penting sosialisasi dan pembinaan dinas-dinas di daerah agar mereka mengerti kalau hal ini tanggung jawab mereka. Tidak mungkin BPOM sendiri mengawasi puluhan ribu pelayanan kesehatan yang ada di seluruh Indonesia, maka perlu sinergitas semua pihak," kata dia.
BPOM sendiri tidak memiliki kewenangan untuk menghukum atau mencabut izin dari pelayanan kesehatan yang menjual vaksin atau obat palsu.
"Kami hanya bisa memberikan rekomendasi kepada si pemberi izin, dalam hal ini bisa saja pemda. Kami tidak memiliki kewenangan untuk mencabut pelayanan kesehatan yang terbukti melanggar," tegas.
Selain itu, dia juga meminta para pelaku usaha untuk melakukan pengawasan dengan melaporkan ke BPOM atau pelayanan kesehatan jika produknya dipalsukan.
Namun, masalahnya para pelaku usaha, enggan memberikan informasi kepada publik, karena takut konsumen tidak mau menggunakan produknya lagi.
Selain itu, dia berharap masyarakat berperan serta dalam pengawasan obat, menurut dia adalah hak pasien menanyakan kepada dokter atau pihak rumah sakit apakah obat yang diberikan kepada dirinya obat yang sebenarnya atau obat palsu.
BPOM sendiri mengaku selama ini telah mengawasi produk sejak dikembangkan hingga distribusi, namun masalahnya ada pihak-pihak yang menggunakan jalur ilegal dan hal itu tidak terjamah oleh BPOM.
Sebab itu, BPOM sering bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk membongkar perusahaan ilegal. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Irjen Ari Dono Sukmanto mengaku kepolisian telah menangkap 20 orang terkait kasus vaksin palsu ini. Ia pun menjelaskan bagaimana tersangka membuat vaksin palsu.

"Cara pembuatan vaksin yaitu botol bekas dicuci, dikeringkan, kemudian diisi gentamisin pakai suntikan. Lalu ditutup karet, dilabel, dimasukan dus, dan disegel," ungkap Ari saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis 14 Juli 2016.

Dia menjelaskan dari 37 sampel fasilitas pelayan kesehatan (fasyankes) yang diambil dan telah diuji, 14 diantaranya menggunakan vaksin palsu. Sedangkan yang lainnya tidak terbukti.

"Fasyankes yang terima vaksin palsu ada 14 RS dan 8 bidan yang beli. Ini berdasarkan keterangan tersangka dan sampai saat ini juga masih kami lakukan pendalaman lagi," ucap Ari.

"Semua vaksin yang dipalsukan adalah yang punya nilai jual mahal atau vaksin import. Sedangkan yang buatan dalam negeri belum ada yang dipalsukan," tukas dia.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nila Moeloek telah membacakan 14 rumah sakit dan 8 bidan yang telah diperiksa Bareskrim Polri dan ternyata menggunakan vaksin palsu.

Ia membacakan secara berurut sesuai daftar Menkes. Mereka adalah RS DR Sander (Bekasi), RS Bhakti Husada (Bekasi), RS Sentral Medika (Gombong), RSIA Puspa Husada, RS Karya Medika (Bekasi), RS Kartika Husada (Bekasi), RS Sayang Bunda (Bekasi), RS Multazam (Bekasi), RS Permata (Bekasi), RSIA Gizar (Bekasi), RS Hosana (Bekasi), RS Elizabeth (Bekasi), RS Harapan Bunda (Jakarta Timur), dan RS Hosana (Bekasi).

Lalu, untuk bidannya adalah Bidan Lia (Cikarang), Bidan Lilik (Perum Graha Melati Tambun), Bidan Klinik Tabina (Perum Sukaraya, Sukatani Cikarang), Bidan Iis (Perum Seroja Bekasi), Klinik Dafa DR (Baginda Cikarang), Bidan Mega (Puri Cikarang Makmur Sukaresmi), Bidan M. Elly Novita (Ciracas, Jakarta Timur), dan Klinik dr Ade Kurniawan (Rawa Belong, Slipi Jakarta Barat).
Dinas Kesehatan Kota Bekasi mengakui jika ada rumah sakit (RS)di wilayahnya yang menggunakan vaksin palsu.

"Benar dari daftar rumah sakit dan bidan yang dirilis Menteri Kesehatan, ada rumah sakit yang berada di wilayah Kota Bekasi. Yakni, RS Permata, RS Hosana Medica dan RS Elizabeth," ujar Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi Teti Manurung, di Bekasi, Kamis 14 Juli 2016.

Ia mengatakan, tiga rumah sakit tersebut menerima dan mengedarkan vaksin palsu dari distributor tidak resmi. Hal tersebut terungkap, saat Dinkes Kota Bekasi sidak tiga minggu lalu setelah Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri membongkar sindikat pemalsu vaksin di wilayah Jakarta, Bekasi dan Tanggerang Selatan pada Selasa 21 Juni lalu.

Hanya, dia mengakui pihaknya saat itu tidak berhasil menemukan vaksin palsu saat sidak di ketiga rumah sakit tersebut. Sebab, vaksin termasuk salah satu obat eksklusif yang produknya cukup terbatas.

Ada pun vaksin palsu yang digunakan tiga rumah sakit ini, ungkap Teti, bukanlah vaksin imunisasi dasar seperti vaksin polio, campak dan hepatitis. Mayoritas vaksin yang dipalsukan adalah vaksin yang memiliki harga relatif mahal, lebih dari Rp 200 ribu hingga jutaan perbotolnya.

"Vaksin dasar imunisasi semuanya distok oleh pemerintah. Namun vaksin palsu yang ditemukan mereka adalah vaksin serum, vaksin ATS (anti tetanus serum), vaksin ADS (anti dikteri serum), vaksin PPD (tuberkulin purified protein derivative), dan vaksin ABU (anti bisa ular). Untuk vaksin TBC adalah vaksin yang mahal yang dipalsukan," ungkap dia.

Kendati demikian, pihaknya mengaku belum bisa mengungkap temuannya lebih jauh karena menjunjung asas praduga tak bersalah.

Dinkes Kota Bekasi juga belum bisa memberikan sanksi tegas kepada rumah sakit yang terbukti menggunakan vaksin palsu.
"Kalau untuk menutup ketiga rumah sakit itu secara mendadak, kita tidak bisa begitu saja. Tapi kita akan tegur, evaluasi izin operasional rumah sakit di masa yang akan datang,"ujar Teti.

Tidak Wajib Lapor

Dinas Kesehatan Kota Bekasi mengakui jika rumah sakit swasta tidak diwajibkan untuk melapor setiap pembelian obat dan vaksin. Bahkan, pihak rumah sakit juga tidak diwajibkan untuk melaporkan setiap kerja sama terhadap para distributor obat.

Hal tersebut yang ditengarai menjadi celah antar rumah sakit dan pihak distributor berbuat nakal dan meraup keuntungan.


"Untuk pengawasan, kita hanya mengawasi imunisasi dasar saja, karena vaksin itu diambil dari Dinas Kesehatan melalui distributor resmi yang terdaftar," kata Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi, Teti Manurung

Adapun yang disebut tidak resmi karena distributor obat tersebut tidak dikenal dan tidak masuk dalam daftar dari dinas terkait. Padahal, kata Teti, rumah sakit swasta lainnya biasa memasok obat dari daftar yang dimiliki oleh dinas terkait.

Karena itu, pihaknya mengaku tidak bisa menginventarisasi lebih jauh laporan asal muasal pembelian vaksin yang dilakukan pihak rumah sakit. Termasuk tidak bisa menelusuri seluruh pasien yang pernah melakukan vaksin, khususnya di tiga rumah sakit swasta di Kota Bekasi yang dinyatakan menerima vaksin palsu dari para sindikat pemalsu vaksin yang dibongkar Mabes Polri.

"Tentunya kita tidak bisa setiap saat bertanya vaksin apa saja yang dibeli rumah sakit setiap saatnya. Karena rumah sakit swasta boleh membeli vaksin dalam kapasitasnya sendiri," jelas dia.

Teti meminta masyarakat tidak panik dalam menyikapi peredaran vaksin palsu. Sebab, dari 34 puskesmas dan 33 rumah sakit swasta di Kota Bekasi, dinyatakan terbebas dari vaksin palsu meski tersangka memproduksinya di wilayah Kota Bekasi juga.

"Di kota Bekasi memiliki 35 puskesmas dan 38 rumah sakit swasta. Tiga diantara 38 rumah sakit itu terindikasi. Namun puskesmas dan RSUD kita aman, jadi saya berharap masyarakat tetap tenang," ujar Teti. Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawati mengatakan bahwa kasus vaksin palsu merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelakunya harus dihukum berat.
"Saya menyebut kasus ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus diusut tuntas. Karena dalam kasus ini yang menjadi korban adalah anak-anak bayi yang menjadi generasi penerus bangsa ini," katanya di Jakarta, terkait dengan kasus vaksin palsu yang saat ini ditangani Mabes Polri.
Ia menyatakan mendukung langkah Mabes Polri mengungkap secara tuntas jaringan kejahatan dalam produksi, penyebaran, dan penjualan vaksin palsu di tengah masyarakat.
"Mendukung langkah Polri yang menjerat para tersangka dengan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," katanya.
Kejahatan ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dilawan, apalagi korban dari pemalsuan vaksin ini adalah anak-anak yang bakal menjadi generasi penerus bangsa ini.
"Pemerintah harus serius merespons kasus ini," kata Sekretaris Dewan Pakar PPP itu.
Ia meminta BPOM untuk lebih intensif menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan terhadap obat-obatan dan makanan.
Terungkapnya jejaring kejahatan pemalsuan vaksin tersebut kembali mengonfirmasi pola kerja BPOM masih menggunakan manajemen "pemadam kebakaran" alias tidak melakukan langkah preventif dan turun ke lapangan.
"Semestinya, koordinasi antarlembaga jauh lebih diintensifkan," katanya.
Terkait dengan BPOM, DPR RI berkomitmen untuk mendorong penguatan badan ini dengan memasukkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015 s.d. 2019. Dengan regulasi tersebut, peran BPOM diharapkan jauh lebih maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap makanan dan obat-obatan.
Ia meminta Kementerian Kesehatan agar memaksimalkan koordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan di provinsi, kabupaten, dan kota, untuk memaksimalkan perannya melakukan pengawasan.
Terkait dengan dugaan keterlibatan rumah sakit serta oknum dokter harus diusut tuntas oleh Kementerian Kesehatan, termasuk organisasi profesi. Peristiwa ini mengingatkan publik tentang praktik oknum dokter yang "bekerja sampingan" sebagai marketing obat-oabatan.


"Organisasi profesi harus mengonfirmasi ihwal dugaan praktik tersebut," katanya.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Inspektur Jenderal Ari Dono Sukmanto menuturkan, sampai saat ini pihaknya masih memproses kasus vaksin palsu. Ia mengatakan sudah ada tersangka baru dalam kasus ini. 

"Sementara Cimahi. Insyaallah terus lanjut. Berkas perkara udah dilimpahkan, tujuh tersangka dengan dua pelaku utama, itu aja perkembangan terakhir," ungkap Ari Dono di Kompleks Parlemen Senayan,.

"Berkas dilimpahkan untuk dikoreksi dewan kejaksaan, tinggal kita menunggu, mudah-mudahan tidak ada P19," imbuh dia.

Terkait ada lima provinsi yang tersebar vaksin palsu termasuk di Pulau Sumatera, Ari tidak membantah dan tidak membenarkan.

"Ya kan baru katanya, saya enggak bicara seperti itu. Belum ada, belum sampai ke sana," ujar dia.

Ari menegaskan kehadiran Polri dalam kasus 
vaksin palsu ini adalah untuk masyarakat dan kepentingan pemerintah. Sehingga hasil penyelidikan nantinya akan dirilis.

"Kehadiran Polri dengan penanganannya ini sebenernya untuk masyarakat dan kepentingan pemerintah. Tapi mungkin karena gulirannya jadi sesuatu yang merugikan orang lain, itu kita akan lihat nanti," papar Ari.

"Itu kaitannya dengan pemberitaan, tapi prinsipnya kalau ada kelompok yang melanggar, pasti akan kita proses. Nah itu kita akan lebih hati-hati lagi," sambung dia.

Ari mengatakan kasus 
vaksin palsu ini kaitannya dengan si pembuat yang merupakan pasangan suami istri, pengumpul botol, kemudian didistribusikan sampai dengan yang menyuntik. Sejauh ini, pihak rumah sakit belum terlibat.

"Sementara berkas perkara enggak sampe ke sana (pihak rumah sakit). Penyidik bicara apa yang dia temukan dan itu yang kita bicarakan. Satu perkara dilimpahkan, yang menyuntik bidan," tandas Ari. Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia, Selasa pagi menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) yang dihadiri oleh pihak terkait kasus vaksin palsu di kantor Kemenko PMK, Jakarta.
Meski kasus vaksin palsu sudah mendapat tindakan oleh Kementerian Kesehatan dan oknum tak bertanggung jawab sudah ditindaklanjuti oleh Bareskrim--Menko PMK, Puan Maharani, tetap meminta agar semua pihak agar bekerja lebih optimal.
"Kami pemerintah, akan memberikan pelaksanaan vaksin ulang kepada orangtua atau pelapor yang kemudian merasa anaknya dari 2003 sampai saat ini mendapatkan vaksin palsu di wilayah mereka masing-masing," ujar Puan usai memimpin Rakor tingkat menteri, Jakarta, Rabu (26/7/2016).
Puan turut menyampaikan untuk mendahulukan penanganan terhadap anak-anak korban vaksin palsu dan mengedepankan upaya informatif dan edukatif kepada masyarakat terkait isu yang berkembang.
"Kami merasa untuk menjaga ketenangan secara psikologis, Kemenkes akan memberikan vaksin ulang di seluruh layanan kesehatan," kata Puan.
Lanjut Puan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan PT Bio Farma yang hadir dalam rakor juga menyampaikan sudah melakukan hal-hal lanjutan yang dianggap perlu untuk menenangkan, menentramkan, dan menuntaskan kasus vaksin palsu.
Hingga kini, Badan POM masih melakukan upaya untuk menelusuri sumber vaksin palsu di lima wilayah yaitu di DKI Jakarta, Serang, Bengkulu, Pekan Baru, dan Palembang.
Saat ini Bareskrim sebagai penyidik sudah menetapkan 23 tersangka berkaitan dengan kasus vaksin palsu di antaranya tersangka dari produsen, distributor, pengepul bekas (botol-botol vaksin bekas), pencetak label, dokter, dan bidan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melakukan langkah pertama sebagai prosedur tindak lanjut bagi anak yang diduga mendapatkan vaksin palsu yaitu melakukan verifikasi data anak. Dan berdasarkan hasil verifikasi, Satgas bekerja sama dengan dinas kesehatan menghubungi orangtua atau keluarga anak untuk memberikan informasi tempat pemeriksaan kesehatan, dan imunisasi ulang yang akan mereka datangi.
"Satgas penanggulangan vaksin palsu melakukan pendataan anak yang diduga mendapatkan vaksin palsu, dan melakukan verifikasi. Di antaranya nama, usia, alamat, riwayat imunisasi, nama orangtua, dan nomer kontak," ujar Oscar Permadi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan masyarakat, Kemenkes, dilansir laman Antara, Jumat (22/7/2016).
Orangtua atau keluarga yang ingin mendapatkan imunisasi bisa mendatangi 14 rumah sakit, delapan klinik, atau bidan yang sudah diumumkan pemerintah, atau mendatangi posko pengaduan imunisasi. Di DKI Jakarta, posko pengaduan ada di setiap puskesmas.
Sementara, di Bekasi telah tersedia posko pengaduan vaksin palsu di 44 puskesmas. Sedangkan di Tangerang, posko tersedia di puskesmas Ciledug. Nantinya, petugas posko pengaduan melakukan pencatatan data anak yang diserahkan ke Kecamatan yang diteruskan ke dinas kesehatan.
Setelah itu, dokter melakukan pemeriksaan rekam imunisasi dan menentukan kebutuhan catch-up imunisasi anak. Pemeriksaan ini juga menentukan ada tidaknya halangan (kontraindikasi) pemberian imunisasi ulang.
Diharapkan, orangtua atau keluarga memantau keadaan anak setelahimunisasi. "Apabila timbul gejala penyakit atau reaksi yang tidak diinginkan dalam 30 hari setelah pemberian imunisasi, mohon segera kembali ke tempat dilakukan imunisasi agar dapat dipantau, dan kejadian tersebut dilaporkan ke dinas kesehatan kemudian dikaji oleh Pokja KIPI.



 Dila Sri Mulyati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar